Selamat Datang di Blog PNPM Mandiri Perdesaan-Bumi Bataraguru, Kab. Luwu Timur

Sabtu, 17 November 2012

Materi Semiloka DPRD-SKPD 2012


EVALUASI KRITIS PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Oleh: Drs. Sarkawi A. Hamid, M.Si (Ketua DPRD Lutim)


I.       PENDAHULUAN

Sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan tahunan atau yang lebih dikenal dengan nama Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) di atur dalam UU no 25 tahun 2004 tentang SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), UU no.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP no. 08 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Musrenbang ini dimaksudkan untuk menyusun kebijakan program pembangunan yang dibiayai oleh APBN di tingkat pusat dan APBD di tingkat daerah secara partisipatif di semua tingkatan (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota).

Musrenbang kita tahu adalah proses musyawarah masyarakat tentang pembangunan daerah yang di laksanakan guna  mendapatkan suatu kesepakatan di antara masyarakat di setiap daerah yang akan di adakan pembangunan. Musrenbang adalah forum di mana masyarakat dapat menyampaikan aspirasi mereka, dalam proses pembangunan yang akan di laksanakan tentang bagaiman yang seharusnya di lakukan pemerintah serta sebaliknya yang harus di lakukan masyarakat dalam pembangunan yang akan di laksanakan. Musrenbang adalah proses memajukan setiap daerah mulai dari desa/kelurahan,kecamatan,kabupaten/kota ,provinsi hingga pusat.
Peranan dan Kedudukan Musrenbang RKPD merupakan wahana publik ( “public event”) yang penting untuk membawa para pemangku kepentingan (stakeholders) memahami isu-isu dan permasalahan pembangunan daerah mencapai kesepakatan atas prioritas pembangunan, dan consensus untuk pemecahan berbagai permasalahan yang selama ini dihadapi oleh Masyarakat


II.      PEMBAHASAN
Musrenbang adalah hasil assesmen paling penting terhadap usulan program yang prioritas dari masyarakat karena apa yang dihasilkan merupakan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Dijelaskan, mengacu pada aturan hukum yang berlaku, dalam hal ini UU No 25 Tahun 2004 tentang Strategi Perencanaan Pembangunan Nasional, maka partisipasi masyarakat harus menjadi prioritas utama dalam merencanakan pembangunan sebagai bentuk dari proses demokrasi. Untuk itu, agar Musrenbang lebih bermakna serta kelanjutan pembangunan. Kita berharap kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mensinkronkan kegiatan yang ada di unit kerjanya dengan kebutuhan masyarakat, sehingga dana yang ada di SKPD pemanfataannya lebih maksimal untuk kepentingan masyarakat. Bila suatu perencanaan sudah disusun dengan rapi dan matang diyakini sistem penyelenggaraan pemerintahan akan berlangsung baik sesuai dengan harapan masyarakat serta visi dan misi pemerintah yang sedang berkuasa.

Secara spesifik, Permendagri no 54 tahun 2010 mengatur tentang adanya empat pendekatan perencanaan pembangunan:  
1.    Pertama adalah pendekatan teknokratis. Pasal 7 Permendagri tersebut mengatur tentang adanya Pendekatan Teknokratis. Pendekatan teknokratis dalam perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, menggunakan metoda dan kerangka berpikir ilmiah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan daerah. Metoda dan kerangka berpikir ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis terkait perencanaan pembangunan berdasarkan bukti fisis, data dan informasi yang akurat, serta dapat dipertanggungjawabkan.Description: http://www.kompip.or.id/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif

2.    Yang kedua adalah pendekatan Partisipatif. Pendekatan partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, dilaksanakan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dengan mempertimbangkan:
Ø    Relevansi pemangku kepentingan yang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, di setiap tahapan penyusunan dokumen perencanaan pembangunan daerah;
Ø    Kesetaraan antara para pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan dan non pemerintahan dalam pengambilan keputusan;
Ø    Adanya transparasi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan serta melibatkan media massa;
Ø    Keterwakilan seluruh segmen masyarakat, termasuk kelompok masyarakat rentan termarjinalkan dan pengarusutamaan gender;
Ø    Terciptanya rasa memiliki terhadap dokumen perencanaan pembangunan daerah.
3.    Ketiga adalah pendekatan Politis. Pendekatan politis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, bahwa program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Bupati dan Wakil Bupati terpilih pada saat kampanye, disusun ke dalam rancangan RPJMD, melalui:
-       Penerjemahan yang tepat dan sistematis atas visi, misi, dan program Bupati dan wakil Bupati ke dalam tujuan, strategi, kebijakan, dan program pembangunan daerah selama masa jabatan;
-       konsultasi pertimbangan dari landasan hukum, teknis penyusunan, sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran pembangunan nasional dan pembangunan daerah; dan
-       pembahasan dengan DPRD dan konsultasi dengan pemerintah untuk penetapan produk hukum yang mengikat semua pemangku kepentingan.
-       terciptanya konsensus atau kesepakatan pada semua tahapan penting pengambilan keputusan, seperti perumusan prioritas isu dan permasalahan, perumusan tujuan, strategi, kebijakan dan prioritas program.
-       Pertanyaan paling mendasar adalah apakah dokumen RPJMD ini sudah diketahui oleh masyarakat? Sehingga dengan demikian mereka dapat merumuskan perencanaan pembangunan mengacu pada dokumen ini?
4.    Keempat adalah pendekatan top down dan bottom up.  Pasal 10 Permendagri 54 tahun 2010 menjelaskan pendekatan perencanaan pembangunan daerah bawah-atas (bottom-up) dan atas-bawah (top-down) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, hasilnya diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan mulai dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional, sehingga tercipta sinkronisasi dan sinergi pencapaian sasaran rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

Terlihat dari regulasi dan pendekatan yang ada di atas, ada setidaknya dua jalur partisipasi yang wajib difasilitasi oleh Pemkab, yakni partisipasi teritorial melalui musrenbangdes/kel dan Musrenbang Sektor melalui Forum SKPD. Walaupun keberadaan dua regulasi itu harus dimaknai oleh Pemkab  sebagai imperatif/ perintah untuk menjalankan dua jalur perencanaan itu, tetapi belum banyak pemkab yang secara sungguh sungguh memfasilitasi dilaksanakannya dua ruang musrenbang tersebut.
Pada kenyataannya penggalangan Musrenbang teritory selama ini lebih sering terdengar, sementara musrenbang sektor masih sayup sayup terdengar pelaksanaannya. Ironinya, tidak jelas skema penanganan kepada kabupaten yang belum melaksanakan musrenbang dengan sungguh sungguh. Semoga saja Kabupaten Luwu Timur dalam melaksanakan Musrenbang  selama ini tidak dilakukan secara asal asalan,  asal dijalankan, seremonial saja,  jauh dari substansi.
Perencanaan berbasis sektor perlu dilakukan untuk menjamin adanya kebijakan yang melindungi sumber penghidupan lokal, dan memberikan kemudahan tumbuh kembang kepada kelompok masyarakat miskin dan marginal. Harus diakui bahwa kebijakan selama ini cenderung dirancang dengan pertimbangan pertimbangan makro (deduktif). Sementara kelompok kelompok di masyarakat utamanya kelompok miskin dan marginal, tumbuh dan berkembang dengan nalar induktif. Dari kesadaran ‘akar’ mereka tumbuh, dengan pengalaman lokal mereka berkembang, itulah nalar induktif. SKPD perlu duduk bersama dengan kelompok kelompok lokal dalam ruangan perencanaan pembangunan sektor dalam forum forum SKPD untuk menyambungkan dua nalar itu. Dengan tersambungnya dua nalar itu maka perencanaan diharapkan bisa lebih protektif terhadap orang orang lokal, orang miskin dan marginal di tingkat lokal.
Review dokumen renstra SKPD bersama pemangku kepentingan secara terbuka adalah prasarat menuju terbentuknya kebijakan yang inklusif dan pro sumber kehidupan dan kepentingan lokal. Perencanaan kegiatan tahunan SKPD bersama pemangku kepentingan akan menjamin keselarasan antara visi pembangunan dengan kebutuhan masyarakat secara periodik.
Memaduserasikan’ adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan ikhtiar untuk menghubungkan nalar deduktif pemutus kebijakan dan pemkab yang notabene pelayan masyarakat dengan nalar induktif warga marginal yang biasanya tumbuh dan berkembang dari sumber penghidupan non formal. ‘Memaduserasikan’ juga istilah yang memuat semangat bahwa deliberasi, musyawarah atau diskursus bisa membawa pada diketemukannya berbagai upaya yang lebih baik, lebih pro poor SMART. Maksudnya adalah diketemukannya upaya yang  Spesifik, Measurable, Achievable, Rational danTime Bound dan pro poor. Dengan kata lain, upaya yang baik itu seharusnya bersifat spesifik, bisa diukur, bisa di capai, masuk akal (terutama akal induksi/ akal masyarakat),
Berbagai program yang di musyawarahkan masyarakat dalam musrenbangdes atau musrenbangkel banyak yang tereliminasi ditingkat atasnya. Demikian juga ditingkat kecamatan juga dieliminasi lagi ditingkat atasnya dan seterusnya. Hal ini mungkin karena tidak sesuai dengan RPJM Kabupaten atau yang lainnya.
Masyarakat banyak yang mengeluhkan tidak adanya konfirmasi lagi hasil yang dimusyawarahkan dalam musrenbang dengan program apa saja yang diterima dan bagaimana cara mengambil anggarannya dan juga bagaimana membuat SPJ-nya.
Musrenbang yang sejatinya menjadi proses perencanaan pembangunan, banyak menuai kritik dari para delegasi masyarakat. Proses transparansi yang minim dan penuh retorika politik membuat Musrenbang semakin ompong giginya untuk menjawab persoalan masyarakat.
Dalam tataran konseptual, tidak ada yang salah dalam mekanisme perencanaan ini. Setelah di lakukan sosialisasi Pra Musrenbang oleh Bappeda, maka masyarakat segera melakukan penyelenggaraan musyawarah untuk menentukan arah pembangunan desa mereka dengan mengacu kepada Penggalian Keadaan Desa (PKD) yang dilakukan sebelum Musrenbangdes. Dalam PKD, minimal aspirasi masyarakat telah di akomodir semuanya yang akan menjadi landasan dalam pembuatan RPJMDes maupun RKPDes. Setelah siap dengan data-data potensi, masalah dan usulan, maka usulan akan di ajukan untuk di prioritaskan perencanaan satu tahun mendatang. Usulan-usulan itu akan di tampung dan di akan di naikkan di tingkat Kecamatan.
Sampai disini belum ditemukan masalah yang cukup berarti dalam melakukan prosesnya. Masalah yang mungkin timbul secara klise adalah dari kualitas mutu usulan masyarakat desa. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya karena bagaimanapun SDM mereka terbatas, masih lugu dan mungkin tidak paham dengan mekanisme yang sedang meraka jalani. Mereka hanya mengkhayalkan proyek yang akan hadir di desa mereka seperti yang sering di janji-janjikan bapak-bapak yang berseragam. Jangan di tanya, apakah proyek itu mampu mengentaskan kemiskinan atau tidak, mampu menjawab masalah yang mendesak ataupun mampu meningkatkan aspek kesejahteraan bagi mereka atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah datang, mendengarkan, manggut-manggut dan pulang.
Di tingkat Musrenbangcam, keadaan tidak jauh berbeda alias sama memprihatinkan juga. Awalnya dahulu mereka (Masyarakat atau delegasi) sangat bersemangat dalam mengikuti kegiatan musrenbang, namun perlahan-lahan semangat itu terkikis sedikit-demi sedikit karena janji tak kunjung terealisasi. Mereka sudah bertengkar hebat, ngotot-ngototan, adu mulut dan tidak jarang terjadi percekcokan antara delegasi masyarakat itu, namun ternyata tidak mempunyai hasil yang maksimal. Karena tetap saja usula mereka yang di bawa di Kabupaten belum tahu akan terdanai atau tidak. Banyak kasus yang terjadi, usulan mendesak prioritas di masyarakat yang telah di usulkan bertahun-tahun melalui Musrenbang tidak terealisasi. Memang ada yang terealisasi namun prosentasenya tidak lebih dari 25% saja.
Usulan-usulan masyarakat yang mereka titipkan dalam Musrenbang yang selanjutnya di teruskan ke Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pelaku teknokratis dan DPRD sebagai wakil politis mereka seringkali pupus dan tidak jelas keberadaaanya. Nuansa kepentingan, ego sektoral, nepotisme, pembagian kue yang tidak lazim, membuat banyak usulan yang harus di singkirkan. Tidak perduli apakah usulan kegiatan itu sangat mendesak dan di butuhkan masyarakat.
Memang banyak faktor yang membuat kenapa tidak semua usulan kegiatan dapat terdanai. Salah satunya yang sangat klise adalah factor alokasi dana APBD/APBN yang tidak mampu mengkover semua usulan pembangunan.  Kemampuan keuangan Negara yang terbatas mengharuskan pemerintah memilah-milah jenis usulan prioritas yang bersumber dari aspirasi masyarakat.  Sebenarnya masyarakat awam juga memahami hal tersebut. Namun  yang jadi masalah adalah, banyaknya rumor yang menyebutkan bahwa sebenarnya miliaran rupiah dana yang ada di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat yang tidak terserap selama satu tahun anggaran.

Kita lantas jadi bingung sendiri, loh katanya dana terbatas, tapi kenapa sampai setiap tahun selalu masih saja banyak sisa dana untuk proyek pembangunan. Padahal sudah jelas-jelas kita sudah melaksanakan proses perencanaan dari tingkat dusun sampai tingkat kabupaten bahkan sampai tingkat Negara. Terus kemana sebenarnya usulan-usulan masyarakat itu? Apakah hanya menjadi tumpukan arsip saja ataukah jangan-jangan sudah di buang, di kilokan dan dijual untuk di jadikan bungkus kacang.
Dan yang lebih luar biasa anehnya adalah, hal tersebut berlangsung selama bertahun-tahun dan tidak ada yang protes dan melakukan klarifikasi. Paling – paling beraninya hanya mengeluh tidak katruan. Sehingga tanpa sadari, imunitas proses musrenbang muncul di dalam diri kita, dan kita menganggap mungkin memang seperti itu. Kita menerimanya seperti menerima takdir Tuhan yang lain.
III.        PENUTUP
Sebenarnya kita bersepakat bahwa semua system itu baik, yang tidak baik itu yang menjalankannya. Namun sebaik apapun system, dia akan hancur dan membuat malapetaka bila tidak diijtihadi, di internalisasi dalam diri pelakunya sehingga mampu menerapkan nilai-nilai dalam pasal-pasal aturan itu menjadi lebih menentramkan dan bukan tampak seperti pedang yang mengancam.
Musrembang mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat kabupaten harus dimaknai sebagai wadah inti untuk melakukan perubahan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat bukan hanya menjadi rutinitas yang mesti dijalankan sehingga kehilangan ruh dan cenderung membosankan. 


0 komentar:

Posting Komentar